Senin, 23 April 2012

Manajemen Aneka Lembaga Pendidikan Islam

*Manajemen Aneka Lembaga Pendidikan Islam
A.    Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam , sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Yang merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Isam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai asset, pendidikan Islam yang terbesar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya sesuai dengan pendidikan nasional.
Upaya pengelolaan maupun pengembangan lembaga pendidikan Islam merupakan keniscayaan dan beban kolektif bagi para penentu kebijakan pendidikan Islam. Mereka memiliki kewajiban untuk merumuskan strategi dan mempraktikannya guna memajukan pendidikan Islam. Perumusann strategi itu juga akan mempertimbangkan eksistensi lembaga pendidikan Islam secara  riil dan orientasi pengembangannya.
1.      Esistensi Lembaga Pendidikan Islam
Esistensi lembaga pendidikan Islam di Indonesia terutama dalam bentuk pesantren telah cukup tua, seiring dengan keberadaan para penyebar Islam. Lembaga tersebut telah mengalami berbagai perkembangan dengan berdirinya madrasah, sekolah umum, perguruaan tinggi, lembaga kursus serta pelayan umat.
Secara kuantitatif, lembaga lembaga tersebut mengalami peninggkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, secara kualitatif  lembaga lembaga tersebut mengalami banyak masalah, baik masalah internal maupun eksternal. Bahkan lembaga- lembaga yang  dinilai terkemuka juga masih jauh dari penilaian ideal. Jadi tidak heran jika bila kita lihat kondisi pendidikan Islam yang hanya mapu bertaha beberapa tahun dan berakhir dengan kondisi yang biasa disebut  oleh slogan “laa yahya walaa yamuutu”, hidup enggan matipun tak mau, tidak berdaya dan tidak bernutu, senagai cermin keadaan yang memperihatinkan secara berkesinambungan.
Secara umum lembaga pendidikan Islam masih tertinggal secara kualitas. Kita harus menerima kenyataan yang pahit bahwa posisi pendidikan Islam di Indonesia menempati posisi “kelas ekonomi”. Posisi ini melekat setelah bersanding dengan lembaga pendidikan katolik dan lembaga pendidikan umum negeri. Ternyata dua lembaga pendidikan tersebut lebih maju dan jauh meninggalkan lembaga pendidikan Islam.
Apabila fakto-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan diidentifikasi, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan yaitu cita-cita atau gambaran hidup masa depan, nilai-nilai (agama), dan status sosial. Faktor-faktor tersebut menunjukan bahwa nlai-nilai agama hanya menjadi salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan. Sedangkan cita-cita atau gambaran hidup masa depan merupakan pertimbangan yang utama.
Oleh karena itu para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu membaca selera masyarakat tersebut caranya adalah dengan memiliki orientasi yang jelas dan melakukan pembenahan-pembenahan melalui strategi-strategi baru untuk meningkatkan kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang menjanjikan mesa depan baik jaminan keilmuan, kepribadian, maupun ketrampilan.
2.      Orientasi pengelolaan lembaga pendidikan Islam
Orientasi merupakan jalur yang harus dilalui untuk mencapai tujuan oleh karena itu orientasi dapat membuat gerak pendidikan lebih terarah, teratur, dan terencana. Untuk merumuskan orientasi tersebut perlu mempertimbangkan fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan pendidikan. “Fadjar menyarankan, sekurang-kurangnya ada empat hal yang harus dilihat dalam gerak pendidikan, yaitu pertumbuhan, perubahan, pembeharuan, dan keberlanjutan.”
Pendidikan Islam harus memiliki orientasi visioner yang multidimensi. Orientasi tersebut harus berlandasan pada pengadaan dari berbagai kemampuan yang harus dimiliki oleh lembaga pendidikan sebagai jawaban terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang dihadapi dalam era globalisasi sekarang. Seorang lulusan dari lembaga pendidikan apapun ketika memiliki keunggulan yang belum dimiliki lembaga yang lain, pasti akan mengangkat derajat dan martabat tempat ia belajar.
Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik, ada beberapa prinsip orientasi strategi dalam mengembangkan pendidikan Islam, yaitu
a.       Orientasi pengembangan sumberdaya
b.      Mengarah pada pendidikan Islam multikulturalis
c.       Mempertegas misi dasar buntuk menyempurnakan akhlak manusia
d.      Mengutamakan spiritualisasi watak kebangsaan
Empat prinsip tersebut  mewakili eampat dimensi yang terjalin secara intergral yang menjadi orientasi pendidikan Islam, yaitu dimensi potensial, dimensi cultural, dimensi etik, dimensi spiritual. Dimensi potensial mengarahkan alur pendidikan pada pengembangan sumberdaya manusia menuju terbentuknya masyarakat madani. Dimensi cultural mengarahkan gerak pendidikan supaya ramah terhadap budaya local sehingga bersikap inklusif. Dimensi etik mengarahkan alur pendidikan agar benar-benar mengemban misi menanamkan moralpada seluruh bangsa. Sedangkan dimensi spiritual mengarahkan pendidikan agar mempunyai jiwa keimanan sebaga dasar dalam mengarungi kehidupan sehari-hari yang penuh percobaan.
3.      Strategi pengelolaan lembaga pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam dalam semua bentuknya  harus didkelola dengan strategi tertentu yang mampu menyehatkan keberadaan lembaga-lembaga tersebut, bahkan dapa mengantarkan pada kemajuan yang signifikan.
Namun, strategi yang dipilih harus mempertimbangkan berbagai kondisi yang dirasakan lembaga pendidikan Islam itu, sehingga menjadi strategi yang fungsional. Suatu strategi yang benar-benar mampu enyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi sehingga ia dapat berfungsi layaknya resep yang mujarab dalam mengatasi berbagai masalah.
Strategi semacam itu harus berbentuk langkah-langkah operasional yang dapat dipraktekan dengan suatu mekanisme tertentu yang memberikan jalan keluar. Ada beberapa strategi yang perlu ditawarkan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam baik yaitu:
a.       Merumuskan visi, misi dan tujuan lembaga secara jelas serta mewujudkanya melalui kegiatan-kegiatan riil sehari-hari
b.      Membangun kepemimpinan yang benar-benar professional
c.       Menyiapkan pendidik yang benar-benar berjiwa pendidika sehingga mengutamakan tugas-tugas pendidikan dan bertanggungjawab terhadap kesuksesan peserta didiknya
d.      Menyempurnakan strategi rekrutmen siswa/santri/mahasiswa secar proaktif dengan menjemput bahkan mengejar bola.
e.       Berusaha keras untuk member kesadara pada para siswa/satri/mahasiswa bahwa belajar merupakan kewajiban dan kebutuhan paling mendasar yang menentukan masa depan mereka
f.       Dll
Sebaliknya ada juga keadaan yang harus dihindari dan sedapat mungkin berusaha dikeluarkan dari lembaga pendidikan Islam yaitu
a.       Politik kepentingan
b.      Kecenderungan bisnis pribadi
c.       Pemborosan




B.     Manajemen Pesantren
Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat para santri. Sedangkan menurut Nurcholis Madjid terdapat dua pendapat tentang arti kata “santri” tersebut. Pertama, pendapat yang mengatakan berasal dari kata “sastri”, yaitu sebuah kata sansekerta yang berarti melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru ini pergi menetap. Selain itu,Yasamdi mengatakan bahwa nama, “pesantren” sering kali dikaitkan dengan kata “santri” yang mirip dengan istilah bahasa India “shastri” yang berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu atau orang yang ahli tentang kitab suci.
Mengenai pendiri pesantren pertama kali, Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur), mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) sebagai peletak dasar berdirinya pesantren, selanjutnya dilanjutkan oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia pesantren di Jawa hampir sama dengan usia Agama Islam di Jawa sendiri.
Pondok Pesantren memiliki akar tradisi yang sangat kuat di lingkungan masyarakat Indonesia. M.Dawam Rahardjo menyebutkan bahwa pesantren merupakan salah satu simbol budaya pendidikan asli Indonesia (Nusantara). Secara hitoris sistem pendidikan yang berkembang di pesantren memang berakar pada tradisi pendidikan keagamaan semasa agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia. Islamisasi yang berlangsung sangat intensif di Nusantara sejak awal abad ke XIII telah mentransformasikan budaya pendidikan tersebut menjadi bentuk pondok pesantren. Dalam hal ini, Islamisasi nusantara memberikan muatan pemaknaan baru dari versi Islam terhadap sistem pendidikan keagamaan Hindu dan Budha tersebut.
Tentang ciri khas pesantren tradisional dari segi tradisi pendidikannya terdapat lima unsur utama yang sangat mencolok terutama di daerah Jawa. Pertama, pondok (asrama untuk para santri). Kedua, masjid ( tempat melakukan kegiatan ritual dan sekaligus tempat proses belajar). Ketiga, santri (murid –murid yang belajar ilmu agama). Keempat, Kiai (tokoh utama yang memberikan pengajaran dan bimbingan agama yang dijadikan panutan santri). Kelima, kitab kuning (kitab-kitab klasik tentang masalah pokok ajaran agama Islam.[5]
Kelima unsur pokok diatas merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren yang membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lain.
1.      Kelemahan Manajemen Pesantren Tradisional
Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip sebagai benteng utama dalam menetralisir aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat ini mulai mempopulerkan diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilai-nilainya tidak kesemuanya sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat tua di Indonesai. Keberadannya menjadi salah satu wadah dalam dakwah Islam yang dianggap cukup efektif di dalam menggembleng para santri agar memiliki pengetahuan agama yang luas. Peran pesantren dalam menciptakan generasi pelaku dakwah sangatlah menonjol, sehingga pendidikan di pesantren sangat sangat terfokus pada pengajaran tentang dasar-dasar ajaran Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik.
Tetapi, dalam perjalanannya yang sudah sangat tua itu, terdapat banyak kelemahan dalam hal menegerialnya, sehingga hal ini menjadi kendala bagi pesantren tradisional untuk dapat berkembang dan maju. Sistem tradisional yang digunakan menjadi bomerang bagi pesantren, sehingga keberadaannya akan tetap stabil tanpa ada peningkatan.
Dengan kondisi manajemen pesantren yang sangat memprihatinkan ini sangatlah memprihatinkan, nampak jelas pada kondisi pesantren yang ala kadarnya itu, selain itu juga banyak pesantren yang merosot jumlah santrinya. Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill, maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik, dan sebagainya.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi kurangnya kemampuan pesantren mengikuti dan menguasai perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Hal ini lebih banyak disebabkan bahwa pesantren tidak memiliki tujuan yang jelas serta menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencanaa kerja atau program.
Pelaksanan pendidikan dengan cara tradisional, dan kurang adanya sistem kurikulum yang baik, mengakibatkan proses pendidikan dan pengajaran di pesantren terhambat. Proses pengajaran yang simple dan tradisional tersebut berdampak kepada kelemahan santri dalam mengembangkan dirinya. Tidak ada kesempatan bagi santri pesantren untuk mengembangkan skill, bakat dan keahliannya, hal ini juga disebabkan karena minimnya failitas pendidikan di lingkungan pesantren. Kegiatan di pesantren kebanyakan hanya mengkaji karya-karya lama, tanpa dapat menghasilkan karya tulis. Santri dan pengajar kebanyakan hanya dapat mengkaji, tanpa dapat, meneliti dan mengembangkan teori keagamaan. Hal ini merupakan dampak dari lemahnya manajerial pesantren selama ini.
Nurkholis madjid menambahkan, bahwa metode yag digunakan kiai dalam proses belajar mengajar terlalu mengabaikan aspek kognitif yang dapat berdampak negatif pada output pesantren sendiri. Seorang Kiai menggunakan metode pengajian, yang mana hal ini kurang menekankan aspek kognitif santri. Santri hanya dapat mendengarkan tanpa dapat menanggapi atau mengembangkannya, karena ada konsep su’ud adab jika melanggar perintah atau tidak patuh pada perintah seorang kiai.
2.      Ciri Khas Pesantren dan Posisi Kekuasaan Kiai
Ciri-ciri pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah dapat di defininisikan sebagai berikut (Sulthon dan Ridlo, 2006: 12-13):
a.       Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini memungkinkan karena tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kiai (Khadam).
b.      Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama. Bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada sang guru.
c.       Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak didapatkan disana.
d.      Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya, bahkan sampai memasak sendiri.
e.       Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwwah Islamiyyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang mereta dikalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid, dan belajar bersama.
f.       Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan sanksi-sanksi edukatif.
g.      Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebaai akibat kebiasaan puasa sunnah, dzikir, dan i’tikaf, shalat tahajjud, dan bentuk-bentuk riyadlah kainnya atau menauladani kiainya yang terbiasa dengan kehidupan zuhud.
h.      Pemberian ijazah. Yaitu pencantuman nama dalam satu daftar mata rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Hal ini menandakan adanya restu kiai kepada santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab yang dikuasai penuh.
Para santri menyadari bahwa kiai merupakan sosok insan yang hebat secara pengetahuan, berakhlak mulia, dan bijaksana sehingga sangat disegani. Upaya santri untuk berhubungan dengan kiai selalu diwujudkan dalam sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat. Kiai memiliki posisi tinggi di masyarakat, dan mendapatkan kedudukan yang terhormat. Seorang Kiai berperan besar terhadap kemajuan dan nilai suatu pesantren. Karena seorang Kiai dijadikan profil bagi pesantren tersebut. Kebiasaan yang ada bahwa sebuah pesantren akan ternama sebagaiman nama seorang kiai-nya.
Posisi kiai sebagai seorang tuntunan dan panutan, secara langsung akan mempengaruhi pola pemikiran para santri. Seorang Kiai ahli Fiqih, akan mempengaruhi pesantrennya dengan kajian Fiqih, demikian seterusnya, bahwa keahlian seorang kiai akan berpengaruh terhadap idealisme fokus kajian di pesantren tersebut.
Seorang Kiai dalam sebuah pesantren memiliki multi fungsi, yaitu; sebagai guru yang mengajarkan ilmu agama, sebagai mubaligh yang menyampaikan dakwah, dan manajer yang memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya. Dari tiga fungsi tersebut, tampaknya fungsi sebagai mubaligh yang lebih mempengaruhi performance-nya, termasuk juga penampilan ketika mengelola pesantren.
Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi lain: pertama, sebagai agen budaya. Kiai berperan sebagai penyaring budaya yang merambah masyarakat. Kedua, sebagai mediator, yakni menjadi penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat. Ketiga, sebagai penyaring makelar budaya dan mediator, mengajarkan budaya Islami pada masyarakat, sekaligus penghubung berbagai kepentingan masyarakat. Kiai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren, karena memiliki karismatik.
Kerugian kepemimpinan karismatik ini akhirnya mengakibatkan kerugain pesantren akibat sikap dan penampilan kiai yang membentuk mata rantai kelemahan nya. Nurkholis Madjid memaparkan sebagai berikut:
a.       Karisma
Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratis, sebab tidak rasional, hal ini terbukti dengan tindakan kiai yang menjaga jarak dengan santri.
b.      Personal
Karena kepemimpinan kiai merupakan kepemimpinan karismatik maka dengan sednirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan ini mengandung implikasi bahwa seorang kiai tidak dapat digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan dalam rule of game sistem administrasi dan manajemen pesantren
c.       Religio-Feodal
Seorang kiai selain menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan tradisional mobility dalm masyarakat feodal. Feodalisme yang terbungkus keagamaaan ini bila disalah gunakan akan jauh lebih berbahaya dari pada feodalisme biasa.


d.      Kecakapan Teknis
Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu, maka faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan inimenjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dalam perkembangan zaman.
Kelemahan – kelemahan kepemimpinan kiai tersebut membutuhkan solusi yang strategis untuk mengatasinya. Meskipun terasa sulit diperbaiki karena telah begitu membudaya dan berurat – akar hingga sekarang ini. Hal ini khusunya terjadi di pesantren salafiyah.
3.      Strategi Pengelolaan Pesantren
Keberhasilan dan kemajuan sebuah pesantren tidak terlepas dari faktor manajerial. Jika sebuah pesantren dikelola secara profesional dan dengan manajemen yang bagus, maka sebuah pesantren akan menjadi berkembang dan menjadi maju. Sebaliknya, jika sebuah pesantren yang dikelola dengan manajemen yang rendah dan tidak profesional, maka dapat dipastikan bahwa sebuah pesantren akan kalah dalam menghadapi tantangan multi dimensi.
Pola kepemimpinan karismatik dalam pesantren menjadi salah satu faktor kelemahan pesantren, selain faktor lainnya. Perlu diadakan pembaharuan dalam manajerial pesantren dan membutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif dan menyebar ke berbagai komponen pendidikan, untuk mengembangkan dan memperbaiki kwalitas dan kwantitas pesantren. Solusi beserta langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan manajemen secara profesional. Hal ini dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Mengusai ilmu dan praktik tentang pengelolaan pesantren.
b.      Menerapkan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.
c.       Mampu menunjukkan skill yang dibutuhkan pesantren.
d.      Memiliki pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang memadai tentang pengelolaan.
e.       Memiliki kewajiban moral untuk memajukan pesantren.
f.       Memiliki kemiripan yang tinggi terhadap kemajuan pesantren.
g.      Memiliki kejujuran dan disiplin tinggi
h.      Mampu memberi teladan dalam pelaksanaan dan perbuatan kepada bawahan.
Kedua, menerapkan kepemimpinan yang kolektif. Strategi ini dapat diwujudkan melalui langkah-langkah berikut:

a.       Mendirikan yayasan
b.      Mengadakan pembagian wewenang secara jelas
c.       Memberikan tanggung jawab kepada masing-masing pegawai
d.      Menjalankan roda organisasi bersama-sama sesuai dengan kewenangan masing-masing pihak secara proaktif
e.       Menanggung resiko bersama-sama
Ketiga, menerapkan demokratisasi kepemimpinan. Strategi ini dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut:
a.       Mengurangi dominasi kiai dlam penentuan kebijakan
b.      Menekankan partisipasi masyarakat pesantren dalam menentukan pilihannya sendiri
c.       Keputusan-keputusan yang diambil kiai memnpertimbangkan usaha-usah dari bawah
d.      Memberikan kebebasan kepada bawahan untuk memilih pimpinan unit-unit kelembagaan secara terbuka dan mandiri
Keempat, menerapkan manajemen struktur. Strategi ini dapat dilalui sebagai berikut:
a.       Menyusun sturktur organisasi secara lengkap
b.      Menyusun deskripsi pekerjaan (job description)
c.       Menjelaskan hubungan kewenangan antar pegawi dan pimpinan, baik secara vertikal maupun horizontal
d.      Menanamkan komitmen terhadap tugas masing-masing pegawai
e.       Menjaga kode etik kewenangan masing-masing pegawai
Kelima,menanamkan sikap sosio-egaliterianisme. Strategi ini dapat sitempuh melalui langka-langkah berikut:
a.       Menggusur sikap feodalisme yang berkedok agama
b.      Memandang semua orang memiliki derajat dan martabat sosial yang sama sesuai amanat al-Qur’an
c.       Menghapus diskriminasi di kalangan santri antara kelompok putra dan putri kiai dengn santri biasa
d.      Menghapus sikap mengkultuskan para kiai
e.       Menghapus penghormatan yang berlebih kepada kiai
f.       Menghapus sikap mengistewakan seseorang atau kelompok tertentu
g.      Membebaskan para santri dari perasaan sebagai “hamba” dihadapan kiai sehingga mereka dapat menjadi santri yansg sopan tetapi penuh inisiatif.
Keenam, menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran agama (taqdis afkar al-dini). Strategi ini dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
a.       Membiasakan telaah terhadap isi kandungan sesuatu kitab
b.      Membinasakan pendekatan perbandingan pemikiran para ulama dalam proses pembelajaran.
c.       Membiasakan kritik konstruktif dalm proses pembelajaran
d.      Menanamkan kesadaran bahwa pemikiran para penulis kitab sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjdai sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi pada saat penulisan kitab itu.
e.       Menanamkan kesadaran bahwa betapapun hebatnya seoarang penulis kitab, dia pasti memiliki kelemahan tertentu.
Ketujuh, memperkuat penguasaan epistimologi dan metodologi. Strategi ini dapat dirinci melalui langkah-langkah berikut:
a.       Menyajikan pelajaran teori pengetahuan
b.      Memotivasi santri senior untuk mengembangkan pengetahuan
c.       Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, mantiq, perbandingan madzhab, agama dan ilmu-ilmu Al-Qur’an
d.      Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan atau metode, seperti ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu fikih
e.       Mengajarkan metodologi penelitian
f.       Mengajarkan metodologi penulisan karya ilmiah
g.      Mengajarkan metode berpikir ilmiah
h.      Memberikan tugas-tugas penulisan ilmiah
i.        Mendorong keberanian para santri-santri senior untuk menulis buku-buku ilmiah
Kedelapan, mengadakan pembaruan secara berkesinambungan, sebagai berikut:
a.       Mengadakan pembaruan dan/atau penamabahan institusi
b.      Mengadakan pembaruan sistem pendidikan
c.       Mengadakan pembaruan sistem kepemimpinan
d.      Mengadakan pembaruan sistem pembelajaran
e.       Mengadakan pembaruan kurikulum
f.       Mengadakan pembaruan strategi, pendekatan, dan metodogi
g.      Mempurkuat SDM para Ustadz, perpustakaan, dan laboratorium.
Kesembilan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian. Strategi ini dapat dilakukan sebagai berikut:
a.       Mendirikan toko-toko yang menyediakan kebutuhan para santri
b.      Mengelola konsumsi para santri (tata boga)
c.       Mendirikan koperasi
d.      Mendirikan pusat-pusat pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan finansial
e.       Membuat jaringan kerjasama dengan pihak lain yanng saling menguntungkan
f.       Mendirikan usaha-usaha produktif lainnya.

C.     Manajemen Madrasah
Madrasah merupakan terjemahan dari istilah sekolah dalam bahasa arab. Namun konotasi madrasah dalam hal ini bukan pengertian etimologi tersebut, melainkan pada kualifikasinya. Selam ini madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam yang nutunya lebih rendah daripada mutu lembaga pendidikan lainya, terutama sekolah umum, walaupun beberapa madrasah justru lebih maju daripad sekolah umum.
1.      Penyebab Kelemahan Madrasah
Adapun faktor-faktor yang membuat kualitas madrasah rendah adalah kualitas pengelola, system feodalisme, kondisi kultur masyarakat, kebijakan politik Negara, dan terlalu banyak beban yang harus dijalani siswa.
Perilaku pemimpin atau pengelola memiliki pengaruh yang signifikan terhadap maju mundurnya sebuah madrasah perilaku positif dan proaktif dapat mendukung kemajuan madrasah. Sebaliknya perilaku negative dan kontra produktif justru menghambat kemajuan perilaku negative ini terkait dengan trdisi kurang baik yang berlangsung dan berkembang disuatu madrasah.
Praktek manajemen di madrasah sering menggunakan manajemen tradisional yaitu manajemen feodalistik. Penghormatan yang berlebihan pada senior justru menimbulkan dua macam kelemahan. Pertama, kalangan senior tidak merasa tertantang sehingga kreatifitasnya tidak terbangkitkan samasekali. Kedua, kalangan junior merasa gagasanya terbelenggu sehingga merasa pesimis dalam menghadapi tantangan-tantangan lembaga pendidikan dimasa depan.
Selama ini madrasah dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan kelas ekonomi, tidak bermutu, hanya mengajarkan agama, jurusan akhirat, tempat penampungan anak-anak orang miskin, bersistem kolot  dan tidak bisa melanjutkan ke sekolah umum atau perguruan tinggi umum negeri.
Ada banyak faktor lain yang juga menyebabkan mutu madrasah lemah termasuk masalah yang berhubungan yang harus dijalani siswa. Beban yang diwajibkan pada siswa madrasah jauh lebih berat daripada beban siswa umum. Apalagi madrasah yang berada dalam pesantren, beban siswa lebih berat lagi karena disamping siswa mengikuti pelajaran di madrasah juga mengikiti pelajaran pesantren.
2.      Srategi mengatasi kelemahan madrasah
Mengingat banyaknya faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga pendidikan madrasah maka perlu adanya strategi untuk mengatasi asalah tersebut. Sejumlah pemerhati lembaga pendidikan mencoba menawarkan berbagai konsep untuk mengatasi kelemahan- kelemahan madrasah. Tawaran koseptual ini merupakan kepedlian mereka untuk berpartisipasi dalam membentu mutu madrasah yang maj dan unggul.
Rahim menyatakan bahwa paradigm manajemen harus bergeser dari paradigm lama ke paradigm baru. Dengan perubahan paradigm ini, pemimpin madrasah dituntut untuk melakukan langkah-langkah kea rah perwujudan visi madrasah. Langkah-langkah tersebut di antaranya:
a.       Membangun kepemimpinan madrasah yang kuat dengan meningkatkan koordinasi, menggerakan semua komponen madrasah, menyinergikan semua potensi, merangsang perumusan tahapan-tahapan perwujudan visi dan misi madrasaah, serta mengambil prakarsa yang berani dalam pembaruan.
b.      Menjalankan manajemen madrasah yang terbuka dalam pengambilan keputusan dan penggunaan keuangan madrasah.
c.       Mengembangkan tim kerja yang solid, cerdas, dan dinamis.
d.      Mengupayakan kemandirian madrasah untuk melakukan langkah terbaik bagi madrasah.
e.       Menciptakan proses pembelajaran yang efektif, dengan cirri-ciri:
f.       Proses itu memberdayakan siswa aktif dan partisipatif,
g.      Target pembelajaran sampai dengan tahap pemahaman ekspresif,
h.      Mengutamakan proses internalisasi ajaran agama dengan kesadaran sendiri,
i.        Merangsang siswa untuk mempelajari berbagai cara belajar, dan
j.        Menciptakan semangat yang tinggi dalamm menjalankan tugas.

3.      Prospek Madrasah ke Depan
Mengenai eksistensi madrasah dan masyarakatnya, mengantarkan kepada penglihatan lebih jauh mengenai prospek madrasah berangkat dari kerangka acuan strategis. Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan bagi peserta didik sebagai individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Jangkauan waktu pun tidak hanya untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinnan semacam ini perlu direncanakan matang, karena hal itu merupakan proses normatif dan teknis, yang tentu saja akan bisa dicapai melalui satu pertumbuhan panjang dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak mudah dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi yang, di satu segi mengutamakan kenyataan-kenyataan yang hidup "di sini hari ini", sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan Islam yang perlu direalisasikan "di hari esok". Segi pertama berjangka pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan jangka pendek tidak dapat dibiarkan berhubungan semata-mata atas pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi harus ditetapkan dan dirancang; secara selektif agar dengan perkembangan itu dapat dicapai sisi kedua secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak sekarang madrasah perlu merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai nilai spesifik dalam konteks komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan dalam suatu kerangka acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan kebutuhan pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan karakter ''ke-akram-an" dalam arti "kelebihtakwaan". Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi etika kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kemampuan menerima kenyataan hidup dan penyesuaian antara kebutuhan manusia dan ajaran agama. Demikian juga kebutuhan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama sampai titik tertentu, untuk menjaga aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta untak mengenali kaitan kuat antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah mampu melaksanakan transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak mampu melakukan tugas transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa proses transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu menumbuhkan sikap dan tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang dituntut oleh berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di atas dengan konsep-konsep yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam berbagai kegiatan nyata, diharapkan akan dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di samping itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh terhadap problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, yakni 'ibadatullah dan 'imaratul ardli, yang pada gilirannya akan mampu rnencapai tujuan akhir dari kehidupan ini, yaitu sa'adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional dan dalam lingkaran sistem pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang mampu melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan sosial. 
D.    Manajemen Perguruan Tinggi Islam
1.      Polarisasi PTAI dan Problematikanya
Pada umumnya, PTAIN lebih maju dari PTAIS karena PTAIN memperoleh pendanaan yang lebih memadai, manajemen yang lebih profesional, control yang lebih ketat, serta dukungan masyarakat yang lebih kuat dan luas. Namun, secara khusus, dalam kasusu-kasus tertentu, mungkin saja ada perguruan tinggi Islam swasta yang lebih berkualitas daripada perguruan tinggi negeri. Perbedaan kualitas itu tidak hanya terjadi dikalangan perguruan tinggi Islam, tetapi kecenderungan yang sama juga telah lama terjadi dikalanan perguruan tinggi umum. Karena itu, kesan yang terbangun di Indonesia adalah perguruan tinggi negeri, baik yang berlebel Islam maupun umum, lebih berkualitas daripada perguruan tinggi swasta.
Pengembangan PTAIN menghadapi Kendal;a politis, cultural, sosial, dan psikologis. Kendala politis  itu terjadi misalnya menyangkut kelembagaan seperti yang terjadi pada zaman orde baru. PTAIN juga mendapat perlakuan sangat diskriminatif berkaitan dengan pendanaan, terutama pada masa orde baru. Di dalam PTAIN sendiri juga terdapat kendala politis yang tentunya juga sangat mengganggu perkembangan tradisi akademik yang baik dan mutu pendidikan.
Kendala lain yang dihadapi PTAIN adalah kendala cultural. Misalnya motifasi dakwah mendomonasi langkah-langkah civitas akademika sehingga berimplikasi pada munculnya kegiatan tanpa perencanaan yang matang, kecenderungan pada penampilan, upaya konservasi lebih kuat, kecernderungan menjadi masyarakat yang suka mendengar dan bercakap-cakap, lebih suka melakukan pendekatan doctrinal dan lain-lain.
Kendala selanjutnya berhubungan dengan dimensi sosial. Masyarakat memiliki daya tarik yang rendah terhadap PTAIN mereka yang kuliah di PTAIN masih terbatas pada masyarakat santri sedangkan masyarakat non santri belum tertarik pada PTAIN. Hal ini disebabkan karena masyarakat menduga PTAIN hanya mengajarkan mata kuliah agama sedangkan mata kuliah umum tidak diajarkan.
Kendala berikutnya adalah kendala psikologis masyarakat Indonesia secara psikologis belum bisa diajak maju, baik masyarakat yang berasal dari level pejabat, kalangan pendidikan, siswa atau mahasiswa, maupun para orang tua.

2.      Solusi Penataan PTAI
Problem-problem serius yang dialami PTAI harus segera diatasi. Pihak yang bertanggungjawab adalah para pemimpin perguruan tinggi agama Islam tersebut  karena mereka merupakan pengeandali, meskipun problem-problem itu bias saja terjadi karena ulah oaring lain. Kemudian, seluruh civitas akademik harus merespon dengan kompak untuk mendukung pimpinan dalam mengadakan pembenahan.
Adapun solusi yang dapat dilakukan untuk menata PTAI adalah:
Dalam menyelesaikan kendala politis yang bersifat exsternal dapat dilakukan melalui cara berikut:
a.       Lobi-lobi dari pejabat yang dimulai dari tingkata direjen pendidikan Islam, sekjen, bahkan menteri agama.
b.      Menggalang dukungan dari DPR
c.       Menunjukan kesiapan konsep, fisik, dan mekanisme kerja.
d.      Menunjukan keseriusan dan komitmen yang btinggi untuk mengembangkan lembaga menjadi lebih besar.
Bagi kendala politis yang bersifat internal dapat diselesaikan dengan dua cara yaitu cara kuratif dan preventif. Cara kuratif dapat dilaksanakan dengan cara:
a.       Membaea dosen kedalam suasana akademik
b.      Memperkuat tradisi akademik dan
c.       Mengkreasi kesibukan-kesibukan akademik yang melibatkan mereka sehi8ngga mereka tidak sempat bermain politik.
Sedangkan cara preventif diberlakukan dengan:
a.       Melakukan penyaringan atau seleksi pada calon dosen yang benar-benar mencerminkan sosok akademis
b.      Menghindarkan diri dari calon dosen atau karyawan yang cenderung terlalu focus pada bisnis pribadi dan politik.
c.       Membuat surat perjanjian yang harus ditanda tangani calon pegawai untuk bekerja secara professional.
d.      Membuat pernyataan yang harus ditanda tangani caln pegawai untuk tidak terlibat dalam hal politik.
Dalam menghadapi Kendala cultural bisa menempu beberapa cara:
a.       Mengharuskan para bawahanya untuk mengadakan perencanaan, penorganisasian, penggerakan, dan pengontrolan secara ketat.
b.      Menggerakan bawahan pada orientasi kreasi dan kekaryaan.
c.       Menggerakan terwujudnya reading-writing society pada civitas akademik.
d.      Menanamkan semangt berprestasi unggul.
e.       Membudyakan kritik konstruktif-argumentatif.
f.       Mentradisikan penelitian penulisan karya ilmiah.
g.      Mendorong keberanian untuk memublikasikan hasil-hasil karya ilmiah keruang public.
Untuk mengatasi kendala sosial sebaiknya melakukan hal-hal bertikut :
a.       Penyebaran informasi secara memadai kepada masyarakat luas terutama melalui radio kampus.
b.      Membangun opini atau kesan tentang berbagai kelebihan perguruan tinggi Islam
c.       Menggiring masyarakat agar memiliki persepsi yang benar pada perguruan tinggi Islam sesuai dengan realitas yang ada.
d.      Mengundang masyarakat ke kampus pada even-even tertentu.
e.       Melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
f.       Mengajak masyarakat untuk memasukan putra putrinya keperguruan tinggi Islam.
Adapun dalam mengatasi kendala psikologis dapat dilakukan hal berikut:
a.       Menanamkan pendidikan berbasis kesadaran di kampus.
b.      Mengondisikan lingkungan yang aman dan menyenangakan.
c.       Melaksanakan proses pembelajaran secara ketat.
d.      Menggunakan pendekatan, srategi, dan metode pembelajaran yang akseleratif.
e.       Memiliki perhatian khusus pada mahasisiwa yang potensinya lemah melalui penambahan pembelajaran dan strategi khusus.
f.       Melakukan evaluasi secara objektif, ketat, dan menyeluruh
(Lihat Riwayat Penyusun: sempor5@gmail.com)